Eveline Anuriyadin, Bocah SMP Pengelola Puluhan Ton Sampah Organik
Tak nampak wajah geli atau jijik saat Eveline memberi makan maggotnya dengan sampah organik. Bocah perempuan bernama lengkap Eveline Anuriyadin itu melakukan aksi lingkungan zero organic waste melalui budidaya maggot. Ia memberi pakan maggot dari sampah organik yang ia kumpulkan dari sekitarnya.
Walaupun ia harus mengambil sampah organik pasca pulang sekolah dan masih menggunakan seragam, ia mengaku senang dan enjoy melakukannya. Padatnya aktivitas akademik di sekolah Madrasah Tsanawiyah 03, Surabaya tidak ingin ia jadikan alasan untuk melakukan aksi lingkungan. “Aku melakukannya karena tau banyak sampah organik di sekitar kita yang tidak terolah, padahal bisa diolah dan bermanfaat. Kalau ga diolah dan berakhir di TPA akan memunculkan gas metana” jelas Eveline yakin.
Awalnya, perempuan yang menyandang status sebagai Puteri Lingkungan Hidup 2023 itu hanya memberi makan maggot dengan sampah organik yang berasal dari sisa konsumsi di rumahnya. Namun saat ini, Eveline juga mengambil sampah organik dari pedagang buah dan warung makan di sekitar rumahnya. Bahkan, ia pun mengambil sendiri sampah organik langsung dari pedagangnya.
Eveline saat memberi makan maggot-nya dengan sampah organik berupa parutan kelapa yang diambil dari pedagang makanan di dekat rumahnya. (Sumber foto: Dok. Pribadi) |
Eveline memberi makan maggot sebanyak 3 kali, pagi sebelum berangkat sekolah, sore saat pulang sekolah dan malam sebelum ia beristirahat. Selain memberi makan, Eveline juga memastikan maggot-maggotnya bertelur dengan baik agar siklus hidup maggot tetap terjaga di tengah banyaknya sampah organik yang ia terima
Dalam sebulan, Eveline bisa mengumpulkan lebih dari 3000kg sampah organik untuk makan maggot. Saat terakhir kali menjalin hubungan dengan Eveline, ia telah mengelola hampir 30 ton sampah organik dalam kurun waktu sepuluh bulan. Selain dikelola dengan bantuan maggot, ia juga telaten mengompos sampah organik untuk menjadi pupuk cair dan pupuk padat.
Menjijikan Tapi Menjanjikan
“Jijik saya, Mbak lihat bentuknya yang ngulet-ngulet gitu” jelas ibunda Eveline saat menceritakan awal mula beliau melihat maggot. Awalnya, ibu Eveline menolak permintaan Eveline untuk mengolah sampah organik dengan maggot karena bentuk maggot yang menggelikan. Apalagi, ibu Eveline juga harus berhadapan dengan sampah organik yang bukan hanya berasal dari rumah.
Tak hanya ibunda Eveline, banyak orang mengganggap maggot menjijikkan karena bentuknya yang mirip ulat atau belatung. Padahal, maggot memiliki banyak manfaat dan memiliki peran penting di tengah masalah sampah saat ini.
Sampah organik merupakan sampah yang sejatinya bisa diolah, misalnya dikompos untuk dijadikan pupuk. Namun, banyak sampah organik yang tidak terpilah dengan baik dan berakhir di TPA. Sehingga menjadi bom waktu karena kandungan gas metana yang tinggi akibat sampah yang tercampur aduk.
Eveline pun berinisiatif untuk mengolah sampah organik untuk mengurangi timbulan sampah organik yang sudah mendominasi di TPA Benowo. Perlu diketahui, jenis sampah yang paling banyak di TPA Benowo, Surabaya didominasi oleh sampah organik sebesar 60%. Perempuan yang saat ini masih duduk di kelas dua SMP ini pun sudah melakukan aksi ini sejak kelas lima sekolah dasar.
Maggot yang dibudidayakan oleh Eveline saat ini terletak di bak-bak besar di lantai dua rumahnya. Menyadari semangat anaknya dalam melakukan aksi lingkungan dan statusnya yang masih anak sekolahan, Eveline dibantu dan didampingi oleh ibundanya.
Dari yang awalnya jijik dengan maggot, ibunda Eveline kini merasa berdaya dengan aksi lingkungan yang diupayakan oleh anaknya. Ibunda Eveline pun pada akhirnya belajar mengenai pengelolaan sampah organik seperti membuat pupuk melalui proses pengomposan, budidaya lele hingga anggrek.
Saat ini, ibunda Eveline merasa berdaya secara ekonomi karena berhasil mengolah sampah organik. Selain untuk pakan maggot, sampah organik dikompos untuk dijadikan pupuk. Pupuk padat dan cair hasil pengomposan itu pun dijual dalam berbagai ukuran dan harga.
Produk lain yang dijual oleh Eveline dan ibunya adalah abon lele. Lele yang dibudidayakan diberi makan maggot untuk selanjutnya diolah menjadi abon lele. Jika pesanan banyak atau sedang ada event seperti pameran, banyak warga sekitar yang merupakan kelompok ibu-ibu membantu dalam proses pembuatan abon lele.
Eveline pun juga padat melakukan aktivitas untuk meningkatkan kesadaran mengolah sampah organik. Bocah perempuan itu bahkan mendampingi bapak ibu guru di sekolahnya saat ini dan di sekolah dasarnya dulu, kelompok warga bahkan individu dalam mengolah sampah organik baik menggunakan bantuan maggot ataupun melalui proses pengomposan.
Di kampung Kelurahan Nginden, Surabaya misalnya, Eveline mendampingi warga kampung tersebut untuk mandiri mengolah sampah organik dengan bantuan maggot. Kampung Kelurahan Nginden itu pun beberapa waktu lalu memenangkan lomba kampung dengan pengelolaan lingkungan terbaik dalam kompetisi Kampung Surabaya Hebat yang diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan dan Pemerintah Kota Surabaya.
Sepertinya, pepatah “anak kecil tahu apa” tidak layak disematkan pada Eveline. Ia memang masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Namun perjalanan hidupnya dalam melakukan aksi pengelolaan sampah organik agar terolah dengan baik membuat definisi dewasa bukan lagi persoalan usia. Eveline membuktikan bahwa aksi lingkungan bisa dilakukan sejak dini, tidak harus menunggu lulus sekolah dulu ataupun menunggu usia dewasa.
Comments
Post a Comment