Mindful Eating Membuat Saya Nggak Lagi Mudah Membuang Makanan!


Saya dulu adalah pribadi yang suka coba-coba makanan, kalau nggak enak ya nggak usah dihabiskan. Kalau nggak enak, ya buang! Pikiran ini telah saya dapatkan sejak kecil, saat saya hidup di desa bersama simbok (panggilan sebagaian masyarakat Jawa Tengah untuk seorang nenek). Ketika ada makanan yang tidak habis solusinya, ya dibuang. Tenang, nanti juga akan dimakan sapi, ayam hingga bebek di pekarangan belakang.

Nyatanya, hidup di kota tak seindah di desa, ya Gen. Kawasan padat penduduk di daerah rumah, membuat saya tidak bisa leluasa membuang sisa makanan atau sayuran di depan atau di belakang rumah. Selain karena tidak ada lahan kosong, etika bertetangga juga menjadi pertimbangan, wkwk. 

Bayangin aja tiba-tiba ngelempar sampah di depan rumah orang. Bisa-bisa saya masuk berita, seperti yang terjadi di Sidoarjo. Kasus Bu Masriah yang menyiram kotoran ke tetangga gitu, wkwk.

Mindful Eating Merubah Pola Makan

Perubahan pola makan yang awalnya suka beli, coba, buang ini pun berubah ketika saya sedang makan bersama seorang teman yang sedang punya project menjalin kerjasama dengan petani. "Nasi sampai di meja ini, tuh prosesnya panjang. Selama ini kita menganggap, nasi dan beras yang dicuci terus masuk magic jar. Nyatanya nggak sesederhana itu" ucap teman saya yang bernama Cak Mus itu (Halo Cak Mus👋)

Ia pun melanjutkan ceritanya soal nasi-beras-padi-petani-lahan-keuangan. Saya merasa seperti sedang mengikuti seminar kajian ilmiah bertema ketahanan pangan. Padahal waktu itu, kami hanya makan siang bersama teman-teman komunitas :") Namun dari obrolan berbobot yang tidak terasa abot-berat-itu berdampak langsung pada saya waktu itu. Saya yang waktu itu memesan ayam bakar, hanya menyisakan tulang di piring. Biasanya saya masih menyisakan banyak hal, mulai nasi, daging, sambal hingga lalapan. 

Dari obrolan itu, saya makin menyadari bahwa proses membuat satu jenis makanan adalah proses panjang yang melibatkan banyak orang dan penuh pengorbanan. Hal ini makin saya rasakan saat saya mengikuti aktivitas para petani saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Bojonegoro.

Kebetulan, saya tinggal di rumah Pak Sarmi, petani dan juga ketua RT di dusun Jiwo. Saat hendak ke kamar mandi saat subuh, Pak Sarmi sudah sarapan dengan lauk seadanya. Tak lama kemudian, beliau pergi ke ladang dengan membawa peralatan tani dan berjalan kaki. 

Lokasinya yang tidak dapat diakses sepeda motor membuat Pak Sarmi harus jalan kaki. Saat kami ngobrol, saya baru tau bahwa harga pupuk itu lumayan mahal. Belum lagi soal pengairan yang sulit ketika kemarau. 

Selang berlanjut, saya aktif mengikuti volunteer di Garda Pangan. Tugas kami adalah mengambil makanan surplus dari gerai makanan yang sudah bekerjasama dan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. Bayangkan, berapa banyak sisa makanan yang akan terbuang apabila tidak kami bagikan. Padahal, kondisi makanannya masih layak untuk dimakan!

Lebih Menghargai dan Tau Apa yang Kita Makan 

Mindful eating membawa saya jadi pribadi yang suka masak!


Dari perjalanan lebih menghargai makanan, saya lanjut pada fase tau apa yang saya makan. Saya cukup ketergantungan dengan makanan junk food, makanan instan hingga ultra processed food. Hal ini saya sadari ketika memutuskan untuk konsisten memilah sampah.

Saat mencuci sampah anorganik (kemasan plastik, botol plastik, dll) saya menyadari bahwa sampah kemasan makanan lebih banyak dibanding sampah lainnya. Dan saat mengkategorikannya, kebanyakan sampah kemasan makanan itu adalah kemasan mie instan dan kemasan sosis siap makan, haha!

Saya pun tidak sadar bahwa dalam sebulan saya bisa makan mie instan lebih dari 5 kali. Belum lagi sosis siap makan yang hampir tiap hari saya beli. Sudah berapa uang yang sudah saya keluarkan, ya Tuhan 😭 Saya akui ada ketergantungan dengan rasa gurih yang nagih dari sosis tersebut, hehe

Mindful eating adalah sebuah perjalanan, walaupun sebelumnya saya telah menyadari bahwa buang-buang makanan adalah sifat mubadzir yang dilarang agama. Walaupun saya telah menyadari bahwa profesi petani adalah profesi yang tidak mudah. Proses setiap orang menjadi lebih sadar memakan apa yang ia makan dan menghargai makanan tentu berbeda.

Apalagi kita terbiasa dengan budaya "Lebih baik lebih daripada kurang". Hingga budaya konsumerisme yang makin membuat kita terlena "Selama ada duit, gass aja". Padahal kalau dipikir-pikir, ya Gen, ada nggak ada duit dorongan untuk beli-beli-beli itu ada aja. 

Justru dengan lebih menghargai makanan dan tau apa yang kita makan, saya merasa lebih hemat dan tidak mudah beli jajan. Walaupun berkuliner ria itu wajib, ya! Namun setidaknya, setelah lebih mindful dalam makan-mindful eating-baik proses sebelum makan atau saat makan, saya lebih menghargai tubuh dan duit saya. Sekaligus menghargai usaha orang-orang yang telah banyak berkorban untuk terlibat dalam pembuatan pangan.



Comments

Popular posts from this blog

Eveline Anuriyadin, Bocah SMP Pengelola Puluhan Ton Sampah Organik

Sampah Kemasan Sekali Pakai Berserakan di Lapangan Kodam Surabaya, Area TNI, lho Ini!

Coffe Shop yang Menarik Perhatian Para Pemulung