Mengidamkan Panel Surya Di Tengah Ambisius Fana Transisi Energi
Beberapa waktu lalu saya mendaki Gunung Prau via Patak Dieng, Wonosobo. Di area camp sunrise ada rumah kecil yang berfungsi sebagai shelter dan mushola. Shelter yang terbuat dari kayu itu nampak estetik seperti rumah-rumah yang ada di beberapa negara nordik seperti Denmark atau Finlandia.
Selain bangunannya yang menarik, panel surya yang terletak di atap shelter itu juga menarik perhatian saya. Ukurannya kecil tapi terasa sangat fungsionalis, saya pun akhirnya mengandai-andai "kapan, ya punya panel surya?"
Sebenarnya, sejak panel surya sering terlihat di banyak lampu merah di Kota Surabaya, saya ingin sekali memilikinya. Saat melihatnya di bawah matahari yang terik dan kaki kepanasan menunggu lampu hijau, saya merasa panel surya yang menempel dekat lampu merah itu bagaikan fatamorgana. Bayangkan, selain membuat saya mengeluh, panas dan teriknya matahari bisa menghasilkan listrik untuk kebutuhan sehari-hari. Sebuah kecanggihan teknologi dan harapan 💫
Gen tentu pernah mendengar bahkan mendapat informasi seputar energi surya. Saya pribadi mengenal istilah energi surya sejak SD melalui pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (di zaman saya, hehe). Saat itu, manfaat energi surya dalam kehidupan sehari-hari dijelaskan secara sederhana. Misalnya, manfaat untuk menjemur pakaian, menjemur nasi sisa untuk dijadikan nasi aking hingga menjadi bagian dari proses pembuatan ikan asin.
Panel Surya dan Transisi Energi
Saya semakin sering mendapat informasi perihal panel surya yang dipasang untuk kebutuhan listrik di rumah. Baik dari media sosial maupun grup WhatsApp. Namun setiap informasi perihal panel surya itu saya dapat, saya selalu menyimpulkan bahwa menghasilkan energi secara mandiri di negeri ini bukanlah proses yang mudah, wkwk.
Mulai dari ribetnya perizinan, cekcok dengan PLN, biaya pemasangannya yang wadidaw, hingga perawatannya yang butuh perhatian lebih. Saya menganggap ini hambatan, wajar bila hambatan ini ada di tengah masih tergantungnya negara pada PLTU yang berasal dari energi fosil (energi tak terbarukan, mis: batu bara). Sayangnya, kemandirian masyarakat dalam mendukung upaya ambisius pemerintah perihal transisi energi ini kurang disambut baik.
Pemerintah sendiri menargetkan buaran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 nanti. Namun, pada tahun 2022 presentase buaran energinya masih 14, 3 persen. Topik transisi energi secara kebijakan juga belum kuat, malahan dalam rencana UU EBT pemerintah masih ambigu seolah mau tak mau meninggalkan energi fosil seperti batu bara, nikel hingga berencana mengoptimalkan energi nuklir.
Walaupun begitu, angka pemasangan panel surya meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, yang paling banyak memasang bukan instansi atau lembaga pemerintah tapi perumahan yang otomatis digunakan untuk skala pribadi. Pada tahun 2021 saja, pengguna panel surya di perumahan ada 4258 naik sebesar 37,93 persen dibanding tahun sebelumnya d. Berbanding dengan pemerintah yang hanya memasang, 138 panel surya menurut laporan data Institute for Essential Services Reform yang dimuat oleh laman Kata Data
Walaupun saya kurang begitu memahami soal panel surya dan kurang dana untuk memasangnya (WKWK), saya tetap berkeinginan suatu hari nanti energi surya yang melimpah ruah di negeri tercinta ini bisa saya manfaatkan menjadi listrik! Sekaligus membuktikan pada pemerintah melalui slogan ambisi ekonomi hijau transisi ekonomi berkelanjutan apalah itu, wkkw bahwa rakyatmu ini,lho iso mandiri gaes!
Comments
Post a Comment